Oleh Ika Tusiana

Dulu sekali waktu SMA. Saya pernah mengikuti lomba film yang diadakan disebuah universitas didaerah saya. Dengan segala persiapan dan waktu yang cukup panjang kami (saya dan salah satu teman) menyiapkan film pendek yang berdurasi 7 menit untuk lomba tersebut. Film yang bertemakan kemerdekaan Indonesia itupun di tampilkan sebagai peserta urutan nomor 2.
Tapi harus saya akui diantara semua film yang dilombakan ada satu film pendek yang membuat saya terpukau, saya lupa dengan judulnya. Yang pasti diakhir cerita digambarkan seorang pemuda yang memberi hormat pada bendera setengah tiang. Laki-laki itu memang sengaja mengibarkan bendera hanya setengah tiang saja. Dia sempat termenung sejenak, memikirkan kejadian-kejadian yang dialaminya seperti seorang anak miskin yang tidak mendapatkan pendidikan. Anak itu terpaksa menjadi pengamen dengan hidup yang susah dan tak jarang penghasilan minim yang didapatkannya direbut pula oleh preman jalanan.

Ada beberapa hal yang ditunjukkan film itu hingga pada klimaks “Hormat pada bendera setengah tiang” dan semuanya mengartikan bahwa praktek penjajahan masih terjadi di Indonesia, mulai dari yang sederhana yaitu preman merasa berhak untuk meminta penghasilan pengemis atau pengamen, hingga Indonesia yang masih belum bisa lepas dari pengaruh Negara lain. Seperti sekarang ini misalnya, ekonomi Indonesia seperti terombang-ambing menuju muara terburuk karena kenaikan dollar Amerika. Padahal Indonesia adalah Negara independen yang memiliki pemerintahan berdaulat. Namun tanpa disadari belenggu bangsa asing masih terus membayangi Indonesia.

Selain penjajahan ekonomi, penjajahan lain yang berasal dari dalam diri Indonesia adalah kebodohan. Kembali ke cerita pengemis atau pengamen kecil itu, mereka seharusnya duduk diatas bangku sekolah dan mengenyam pendidikan baca tulis dan hitung. Bukannya malah beradu nasib ditengah kota untuk mengisi perut yang keroncongan. Sehingga menambah daftar anak yang tidak mendapat pendidikan atau bisa dikatakan bodoh. Padahal Negara yang besar adalah Negara yang mementingkan nasib pendidikan putra-putrinya. Hal ini mengingatkan saya pada kaisar Hiroito, Dia benar-benar merasa prihatin pada jumlah guru yang berkurang pasca bom atom yang meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki. Padahal ketika ada musibah yang menghilangkan nyawa, seharusnya yang paling dibutuhkan adalah dokter atau bagian medis. Namun dia malah menanyakan jumlah guru yang masih ada. Hal itu menandakan bahwa Kaisar Jepang itu tidak hanya mementingkan negaranya saat kejadian itu, namun juga nasibnya dimasa mendatang.

Bendera setengah tiang adalah salah satu bukti bahwa kemerdekaan Indonesia masih belum mencapai puncaknya, masih banyak yang harus diperbaiki. Dan terus berusaha melepaskan diri dari kawalan bangsa lain. Sehingga Pemerintah dan rakyat harus benar-benar bekerja keras dan bekerja sama untuk dapat menggapai cita-cita kemerdekaan yang sebenarnya yaitu sebuah Negara yang terbebas dari kata penjajahan, bukan hanya dari luar Indonesia, namun yang juga berasal dari diri Negara itu sendiri.