Oleh Ika Tusiana

Indonesia adalah Negara dengan jumlah penduduk yang besar, dengan berbagai macam kelas masyarakat didalamnya. Semakin besar suatu bangsa, maka tingkat kejahatan yang terjadi tentunya tidak kalah besar, apalagi Indonesia masih dalam tahap berkembang, sehingga kesejahteraan masyarakat masih belum maksimal. Tapi diantaranya semua kejahatan yang terjadi di Indonesia, kasus kejahatan kepada anak-anaklah yang paling memiriskan hati. Bukan saja karena mereka nantinya calon generasi bangsa, namun mereka yang masa kecil seharusnya di isi dengan kegiatan menyenangkan malah menjadi sasaran pelaku kejahatan. Dan salah satu kejahatan terhadap anak yang masih menjadi pergulatan sekarang ini adalah kasus pedofilian.

Pedofil adalah pelaku kejahatan seksualitas terhadap anak yang usianya  dibawah 15 tahun. Pedofil sendiri terjadi karena beberapa faktor, seperti trauma karena pernah menjadi korban pedofilian juga sebelumnya, atau karena memang faktor lingkungan, seperti stress, takut dan yang lainnya. Dalam sebuah penelitian pula di sampaikan bahwa seorang pedofilian adalah penyakit gangguan mental, karena alasan pelaku pedofil mengalami kerusakan pada salah satu bagian otaknya. Oleh sebab itu mungkin pantas bagi mereka dihukum sebagaimana pengidap gangguan mental.

Dalam memanggapi kasus ini, pemerintah pun dengan segera mengambil beberapa putusan tegas akan hukum pedofilian, seperti undang-undang perlindungan anak, undang-undang pornografi, undang-undang, Informasi dan Transasi Eletronik, undang-undang perdagangan manusia, dan lain-lain. Namun sayangnya, kesemuanya itu bahkan belum mampu untuk menghentikan aksi pedofilian atau membuat mereka jera untuk mengulangi aksi kejahatannya. Bahkan masih banyak ditemukan kasus tentang penganiayaan secara seksual bahkan berujung kepada maut. Seperti kematian Putri Nur Fauziyah, yang ditemukan di dalam kardus. Polisi menduga pelaku pembunuhan Putri adalah pengidap pedofilia, menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.

Hukuman lain yang sempat menjadi kontroversi diberbagai Negara bagi pelaku pedofilian adalah hukuman suntik kebiri. Dalam hukuman ini pelaku pedofilia disuntik secara paksa atau sukarela dengan cairan kimia yang menyebabkan penurunan atau bahkan menghilangkan homon testosteron (hormone seksualitas) sehingga diharapkan tidak akan melakukan tindakan kejahatan yang sama. Namun dalam penerapannya, hukum ini juga mengalami pro dan kontra karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia, bagi pelaku pedofilia hukuman penyuntikan ini sama saja dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup.  

Tapi melihat bahaya keberlangsungan nasib generasi bangsa, khususnya anak-anak, bahkan Presiden Joko Widodo baru-baru ini telah menyetujui usulan adanya hukum suntik kebiri kepada para pelaku pedofilian. Bahkan menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, dalam waktu dekat akan segera diterbitkan Perpu terkait hukuman tersebut. Mungkin hal ini adalah salah satu tindakan presiden demi menjaga keberlangsungan penerus bangsa, seperti saat hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkotika diputuskan.

Seberapa Efektifkah Hukum Suntik Kebiri?

Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifkan hukum suntik kebiri bagi pelaku pedofilian? Apakah mereka akan benar-benar jera dan berhenti melakukan penyiksaan seksual kepada anak-anak atau kah hal tersebut masih akan terus berlanjut?

Menurut beberapa Negara yang telah melakukan kebiri kimia, yaitu pemberian suntikan atau pil kepada pedofilian membuktikan bahwa penghilangan atau penurunan hormone seksualitas tidak permanen, artinya pelaku masih bisa melakukan kejahatan yang sama apabila masa hukumannya telah selesai dan adanya faktor tertentu yang menyebabkan hormone tersebut kembali terpicu. Selain itu pemberian suntikan yang berisi  antiandrogen akan mempercepat penuaan dan kroposnya tulang. Obat itu juga mengurangi massa otot dan meningkatkan lemak yang menaikkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.

Sehingga melihat hasil yang tidak bisa menyembuhkan pelaku pedofilian tersebut, cara lain yang mungkin lebih efektif dan permanen adalah kebiri fisik, yaitu langsung cara mengamputasi testis pelaku pelaku pedofil sehingga membuat pelaku kekurangan hormon testosteron yang memengaruhi dorongan seksualnya.


Hal lain yang lebih baik dilakukan adalah walaupun sudah ada hukuman suntik kebiri kimia, pelaku pedofil tetap menjalani rehabilitasi dan pendidikan seksual yang seharusnya, sehingga akan lebih meminimalkan tindakan kejahatan seksualitasnya kepada anak-anak ketika masa hukuman sudah selesai. Rehabilitasi ini juga penting agar nantinya pelaku pedofilia tidak melakukan tindakan kekerasan seksual lain kepada anak-anak, karena memang suntikan kebiri kimia masih dinyatakan belum sepeuhnya efektif.