Oleh Ika Tusiana

Menjadi seroang wartawan, bukanlah hal yang mudah. Pagi, siang hingga sore harus mengejar-ngejar berita. Berkeliling mengelilingi kota untuk mendapatkan informasi sebagai penyambung hidup, bahkan saat orang lain sedang menikmati liburan hari besar atau weekend, wartawan tetap harus siap di lapangan. Mencari berbagai berita untuk disampaikan kepada masyarakat nantinya. Selain itu, wartawan sekarang ini juga harus berani mengorbankan nyawanya ketika meliput aksi terror, perang dan berita lainnya yang bisa mengancam hidupnya. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa wartawan bukanlah musuh yang harus ditembak. Tapi tidak ada yang menjamin keselamatan nyawanya saat meliput. Jadi bukan hal baru apabila banyak wartawan diberitakan meninggal dunia saat menjalankan tugas. Namun, begitulah nasib seorang wartawan, amatir hingga professional, mereka selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Hingga mendapatkan kecaman apabila berita yang mereka sajikan tidak sesuai dengan harapan masyarakat atau pemilik media mereka. 

Wartawan dan beritanya sering mendapat sebutan  sebagai sosial control, yang berarti segala ucapan atau pemberitaan yang diliput wartawan dapat mengontrol atau mengatur kehidupan sosial masyarakat. KH. Mustofa Bisri pernah menyatakan bahwa apabila Pers berkata ini adalah siang, padahal sebenarnya malam, masyarakat akan tetap mempercayainya, begitupun sebaliknya.  Ungkapan tersebut menunjukkan begitu besarnya pengaruh wartawan di dalam sendi kehidupan masyarakat. Apalagi ketika membuat suatu berita, wartawan memang mempunyai tujuan untuk menggiring opini publik ke arah tertentu. Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Surabaya menyampaikan bahwa setiap wartawan professional pasti mempunyai agenda saat mencari atau menggali suatu data yang akan dijadikan berita nantinya. Sehingga sebutan social control bukanlah isapan jempol belaka.

Berita yang Disajikan menyebabkan Pesimisme
Presiden Joko Widodo mengeluhkan dan mengkritik kinerja wartawan Indonesia yang menyampaikan berita-berita yang dapat meningkatkan keresahan masyarakat dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah pada Selasa (9/02) di peringatan hari Pers Nasional. Beliau menyampaikan bahwa berita wartawan harusnya lebih diisi dengan semangat persatuan sehingga masyarakat merasakan kebanggaannya terhadap pemerintah dan tidak menimbulkan keresahan. Dalam hal ini presiden seharusnya lebih memahami bahwa kinerja wartawan sudah berdasarkan prinsip yang benar dan sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Seorang wartawan dituntut untuk menyampaikan kebenaran dihadapan publik, sehingga apabila pemberitaan yang diberikan memang tidak menyenangkan, seharusnya pemerintah lebih menerima berita tersebut. Dan menjadikan berita tersebut sebagai kritik untuk pemerintah, agar nantinya kinerja pemerintah menjadi lebih baik. Ditambah lagi, apabila hanya berita baik saja yang disebarluaskan, sama halnya dengan menyajikan informasi palsu untuk masyarakat. Karena pada kenyataannya di lapangan hal tersebut yang sedang terjadi.
Namun walaupun begitu, memang benar bahwa sekarang ini banyak sekali wartawan yang melupakan kaidah jurnalisme, bahkan belum memahami sepenuhnya. Pemberitaan mereka biasanya ditujukan untuk mencari sensasi publik, sehingga terkesan berlebih-lebihan bahkan menyampaikan opini sendiri dalam berita yang dimuat. Padahal hal tersebut adalah pelanggaran kode etik wartawan. Wartawan yang sudah benar-benar memahami kinerja wartawan akan mengupayakan berita yang disajikan tidak akan menimbulkan keresahan masyarakat tapi tetap berisi kritik yang pedas bagi pemerintah yang tidak segera tanggap. Wartawan bukan hanya social control yang dapat menggiring opini publik. Tapi juga ikut mengawasi kinerja pemerintah, juga sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dan pemerintah. Sehingga seorang wartawan juga harus lebih bijak dalam menulis beritanya.

Wartawan Tak Sepenuhnya Independen

Sudah bukan menjadi rahasia publik bahwa kinerja wartawan khususnya di Negara Indonesia ini dipengaruhi oleh 2 hal penting yaitu Owner atau pemilik dan pemilik modal (Iklan), sehingga banyak berita yang disajikan memiliki tujuan yang diinginkan oleh owner atau pemilik modal mereka. Hal ini dapat dilihat, saat Negara mengalami kejadian penting seperti pemilihan calon presiden kemarin. Banyak sekali Koran-koran, berita online, berita televisi ataupun radio menyajikan berbagai berita yang jauh berbeda bahkan membingungkan masyarakat. Bahkan setelah pemilihan selesai, sampai sekarang banyak sekali berita yang mencoba mengarahkan opini masyarakat untuk mendukung atau memberontak kepada pemerintah. Sehingga, dalam hal ini masyarakat sebagai konsumen berita juga akan dirugikan, karena berita yang disajikan tidak murni lagi. Dalam artian sudah tercampur dengan bumbu-bumbu hegemoni. Hal ini terjadi karena para penguasa sudah sangat memahami pengaruh media bagi masyarakat, sehingga banyak oknum tertentu yang memanfaatkan media untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Sebagaimana yang dikeluhkan presiden Jokowi, mungkin saja berita yang disajikan adalah berita yang memang memiliki tujuan untuk menggiring masyarakat untuk tidak mempercayai kinerja pemerintah, atau memang benar hal tersebut terjadi di lapangan. Wallahu alam. Tapi yang jelas wartawan bukanlah oknum yang tepat untuk disalahkan atas berita yang mereka sajikan, karena bagaimanapun mereka adalah pekerja dalam sebuah media, sehingga kinerja mereka tak bisa sepenuhnya independen.


Sedangkan masyarakat sendiri sebagai konsumen atau mereka, para citizen journalism yang telah aktif dalam memberikan informasi atau pemberitaan, harus lebih pintar-pintar lagi dalam memilih atau mempercayai berita yang ada. Sebagai masyarakat yang cerdas, masyarakat Indonesia harus lebih peka terhadap setiap berita yang mereka dapatkan. Masyarakat, sebelum menerima berita sepenuhnya juga harus mencari tahu media mana yang menyajikan berita dan memahami tujuan yang ingin disampaikan lewat berita tersebut. Sehingga tidak menimbulkan kebingungan apalagi hingga keresahan publik.