Oleh Ika Tusiana 


Rumah berdinding kayu di ujung desa itu masih sama. Masih berdiri kokoh dan tidak banyak berubah. Hanya dindingnya yang semakin kusam dengan genteng yang juga semakin menghitam. Pohon mangga yang pernah kau tanam di depan rumah juga masih ada. Hanya saja, jika dulu batangnya sebatas pinggang. Kini pohon itu telah tumbuh tinggi dan berbuah. 

Kau berdiri di situ, di balik pohon mangga itu, mengawasi sejak pagi rumah yang pernah kau tinggali, sekaligus kau tinggalkan 20 tahun lalu. 

Ketika suara derit pintu terdengar dan pintu kayu itu terbuka. Segera, kau rapatkan tubuhmu pada batang pohon mangga yang besar.

Dari tempat persembunyianmu, juga dari celah pepohonan itu, kau bisa melihat Ibu dan anak lelakinya keluar dari rumah. Anak yang seingatmu begitu kecil dan suka tertidur dalam buaian ibunya. Kini telah menjadi seorang lelaki dewasa. Mata, hidung, alis dan bentuk wajahnya yang sangat mirip denganmu, mengingatkan bagaimana dirimu ketika masih muda.

Dulu, kau suka sekali menyentuh rambut hitamnya yang belum lebat, mencium pipinya yang gempil dan menimangnya hingga tertidur. 

Mungkin rasa sesak atas penyesalan hebat itu yang kini membuatmu terisak dalam diam. 

*

Perlahan, kau seka air mata dengan ujung baju, lalu mengawasi kembali. Setelah memastikan pemuda itu pergi, barulah kau keluar. Kau ajak kakimu yang pincang sebelah berjalan mendekati rumah itu. 

Walau wajahmu sempat ragu, tetap kau ketuk pintu kayu itu pelan.

"Assalamualaikum Ni ...." Suaramu bergetar. 

Pintu dibuka bersamaan dengan lontaran jawaban salam. Seorang wanita yang seingatmu tak sekurus terakhir kali kau temui, berdiri di ujung pintu. 

Wanita itu terdiam, mengawasimu lebih lekat, lalu terkejut dengan telapak tangan menyentuh bibirnya. 

"Kang, Kang Hasan?" tebaknya dengan alis yang menyatu.

"Iya, Ni. Ini Kang Hasan."

Waktu membeku. Ingatan berputar pada kejadian dua puluh tahun lalu. Kau nekad pergi ke tanah rantau. Kepergianmu yang awalnya menjanjikan kebahagiaan dan kehidupan lebih baik untuk anak istri, gagal karena pesona gadis cantik di tanah rantauan. Hingga kabar kau menikah lagi sampai ke telinga orang-orang di desa. 

"Aku talak kau, Ni. Maaf, pulanglah dan bawa uang ini sebagai nafkah terakhir dari Akang!" Kau mengangsurkan dua lembar uang bewarna merah pada istri dan putramu yang sesenggukan. Karena takut ketahuan oleh keluarga barumu, segera kau usir mereka yang nekad menyusul ke tanah rantauan. 

*

"Boleh Akang masuk Ni?" 

Sartini -wanita itu tak menjawab, namun mengangguk dan memberikan jalan masuk. 

"Bagaimana kabarmu, Ni? Ali juga?" tanyamu setelah mendudukkan bokong di sofa tua.

"Alhamdulillah sehat." Sartini enggan menjawab.

Kau menundukkan kepala. Mungkin sudah merasa kehadiranmu akan tertolak. Tak kuat lagi menahan isakan yang kembali menganak, kau jatuh terduduk di lantai rumah. 

"Ini teguran Tuhan untuk Akang, Ni. Akang tahu, Akang salah. Akang minta maaf sama kamu dan Ali. Akang minta maaf karena sudah menyia-nyiakan kalian." Suaramu bergetar, mendekat pada wanita yang pernah kau sakiti.

Sartini tak jua menjawab. Wanita itu tak bergeming di tempat duduk. Wajah yang terlihat lebih tua dari usianya karena harus menanggung banyak beban hidup, memilih memandang ke arah lain.

Sesekali tangannya terangkat, menyeka air mata di ujung mata yang menetes tanpa dia ingini. 20 tahun mungkin telah berlalu, namun rasa sakit itu masih menancap begitu kuat.

*

Lima tahun lalu, kau terjatuh dari pohon sawit. Meski selamat, kakimu pincang sebelah. Kau tidak mampu bekerja atau sekedar bangun dari tempat tidur. 

Istri barumu kabur. Mungkin dia sudah menyerah setelah mengurusmu yang seperti mayat hidup selama tiga tahun terakhir. 

Beruntung, kau masih ditolong oleh orang baik dan masih dirawat oleh anak perempuanmu. 

Namun kemalangan nyatanya tak berhenti, setelah berhasil berjalan kembali, Dokter memvonismu dengan kanker otak dan hanya bisa bertahan hidup selama beberapa bulan lagi. 

End